PENDAHULUAN "Karakterisasi Buah Merah" - Papuan Herbalism

Minggu, 18 November 2018

PENDAHULUAN "Karakterisasi Buah Merah"

Photo : Doc Pribadi

Papua merupakan kepulauan yang sangat kaya akan sumber daya alam hayati. Salah satu tanaman yang telah dibudidayakan dan dimanfaatkan secara turun temurun sebagai makanan yaitu buah merah (Pandanus conoideus lamk). Buah merah digunakan pada kehidupan sehari-hari sebagai penambah saus pada sayur-sayuran dan  sebagai suplement untuk menjaga daya tahan tubuh dan pengobatan penyakit tertentu. Pandanus conoideus Lamk. dikenal dengan nama lokal yang berbeda di Indonesia, seperti Pandan Seran (Maluku), Saun (Seram), Sihu (Halmahera) sedangkan di Papua pada umumnya dikenal dengan nama buah merah dan buah tawi. Stone BC (1982) menyatakan Orang Papua Nugini juga menggunakan buah merah sebagai makanan dan lebih dikenal sebagai Marita [1]
Seperti halnya tanaman lain buah merah atau Pandanus conoideus Lamk. memiliki berbagai jenis aksesi atau klon yang beragam, namun tidak semua klon dapat dibudidayakan. Klon buah merah yang ditemukan memiliki potensi untuk dikembangkan adalah 7 klon dari Manokwari yaitu 1 klon di Masni (Idebebcs), 3 aksesi di Minyambouw (Hityom, Himbiak, Hibnggok) dan 3 klon dari Teluk Bintuni, Kecamatan Merdey, (Monsmir, Memyer, Memiwuk), kemudian juga 3 klon masing - masing dari Sorong Selatan yaitu U saem, U sauw, U aupat,  dari nabire (Tawi bilim, Tawi Muni, Tawi Kubu) dan dari Jayawijaya (Tawi ugi, Tawi Magari, Tawi kenen) jadi secara keseluruhan totalnya ada 16 klon.[2]
Dari keenam belas klon diatas dapat diketahui bahwa buah merah memiliki habitat yang berbeda-beda mulai dari dataran tinggi (Jayawijaya) hingga dataran rendah (Manokwari, Sorong Selatan, Teluk Bintuni dan Nabire). Hal ini menyebabkan perbedaan konsentrasi kandungan nutrisi dan senyawa fitokimia dari buah merah karena habitat pertumbuhan suatu tanaman dengan kadar intensitas suhu,kelembapan yang berbeda dapat mempengaruhi kandungan nutrisi dan senyawa fitokimia terdapat tanaman buah merah di tiap daerah tersebut. Berdasarkan penelitian Murtiningrum 2012, yang dikutip oleh Sarungallo et al., eksplorasi buah merah pada lima wilayah dari Papua (Manokwari, Bintuni, Sorong Selatan, Jayawijaya dan Nabire) telah mendaftarkan 85 kultivar dengan berbagai karakteristik fisik dan kimiawi dan komposisi buah merah. Dari 85 kultivar atau klon yang telah teridentifikasi baru sekitar 23 jenis yaitu Idebecs, Hibnggok, Hityom, Himbiak, Monsnir, Memyer, Mewiwuk, U Saem, U Sauw, U Aupat, Tawi Bilim, Tawi Muni, Tawi Kubu, Tawu Ugi,Tawi Magari Tawi Kenen seperti yang tercantum pada alinea sebelumnya. Kemudian juga 9 jenis buah merah yang diteliti oleh Sarugallo et al 2015, untuk melihat keberagaman kandungan fotokimia pada buah merah diantaranya Menjid rumbai, Edewewits, Memeri, Monsrus, Monsor, Mbarugum, Hityom, Himbiak, dan Hibcau.
Photo from journal Murtiningrum et al (2012)
Selain habitat buah merah, perbedaan kandungan nutrisi dan fitokimia juga dipengaruhi tingkat kematangan dari masing-masing buah merah. Pada beberapa klon buah merah terdapat perbedaan waktu panen sehingga dapat berakibat pada penurunan atau peningkatan kandungan nutrisi dan fitokimia dalam buah merah. Santoso et al, (2011) yang dikutip oleh Zarungallo menyatakan bahwa secara umum ada empat tahap pematangan buah setelah pembentukan buah merah, yaitu belum matang, setengah matang, matang, dan terlalu matang. Kemudian selama proses berlangsung dari pematangan, biji buah merah (drupa) yang tertanam dalam empulur akan lebih merenggang dan mudah dipisahkan, dengan tekstur selembut daging, sehingga memudahkan memar akibat cedera fisik dan rentan untuk kerusakan kimia (hidrolisis dan oksidasi). [3]
Untuk itu diperlukan penanganan pasca panen yang baik dan benar agar kandungan nutrisi dan fitokimia tetap terjaga. Buah merah (Pandanus conoideus Lamk.) setelah masa panen secara tradisional dan menggunakan alat sederhana sering diolah dan dimanfaatkan untuk makanan ataupun dipanaskan dan diambil minyak buah merah/Red Fruit Oil (RFO). Untuk menjaga kualitas RFO maka perlu diperhatikan beberapa hal seperti kadar air, kadar abu, asam lemak bebas/ free fatty acid (FFA), karbohidrat, protein, vitamin C, fosfor kalsium total karotenoid, dan total tokoferol dalam buah merah.
Kualitas RFO yang baik juga dipengaruhi oleh kandungan senyawa aktif yang terdapat didalamnya. Menurut penelitian Surono et al., (2008) yang dikutip Zarungallo, RFO mengandung β-karoten dan a-tokoferol sehingga RFO punya potensi sebagai sumber alternatif karotenoid dan tokoferol.[4] Telah diketahui bahwa karotenoid dan tokoferol merupakan sumber antioksidan yang sangat bermanfaat bagi tubuh untuk menangkal berbagai penyakit. Dutta D et al (2005) dan Ball G.M.F. (2000) yang dikutip oleh Roreng M,K, karotenoid dapat mencegah beberapa penyakit degeneratif dan kronis seperti hiperkolesterolemia dan penyakit jantung yang disebabkan oleh Aktivitas antioksidan karotenoid yang mampu menghambat radikal bebas. senyawa β-karoten adalah karotenoid utama dengan aktivitas provitamin A yang berfungsi untuk kesehatan mata, diferensiasi jaringan, reproduksi, dan imunitas. [5]
Pemanfaatan RFO sebagai makanan fungsional yang essensial bagi tubuh merupakan langkah tepat karena terdapat aktivitas senyawa fitokimia seperti yang dikemukakan sebelumnya. Aktifitas ini mempunyai nilai tambah karena selain kaya akan manfaat kesehatannya juga didapatkan dengan pengolahan yang sangat mudah yaitu dipanaskan dan kemudian diambil minyak buah merah atau RFO. Namun pengolahan secara sederhana ini mempunyai kelemahan diantaranya tidak diketahui berapa banyak senyawa aktif yang didapatkan jika mengkonsumsi RFO. Untuk itu dilakukan penelitian dengan menggunakan metode-metode ekstaksi agar dapat mengetahui tingkat kandungan senyawa fitokimia dalam RFO.
Untuk mendapatkan ekstrak buah merah yang mengandung banyak senyawa fitokimia maka digunakan metode maserasi dengan pelarut non polar seperti heksana dan kloroform yang dilaporkan beberapa peneliti antara lain Zarungalo Z. L, Rohman A dan Arumsari N. dengan mengadopsi metode yang telah dilakukan oleh Folch et al. (1957). [6] [7] [8] Setelah mengetahui kandungan senyawa fitokimia peneliti juga meneliti mengenai kandungan nutrisi dalam buah merah. Kandungan nutrisi ini berkaitan dengan penanganan pra panen dan pasca panen yang benar karena membutuhkan timing yang pas. Kandungan nutrisi dalam setiap makanan tentu memiliki kerentanan dan resiko kehilangan nutrisi masing-masing.
TO BE CONTINUED

Referensi :


[1] Zarungallo Z.L. 2015, Analysis of α-cryptoxanthin, β-cryptoxanthin, α -carotene, and β-carotene of Pandanus conoideus oil by high-performance liquidchromatography (HPLC) Procedia Food Science 3 ( 2015 ) 231 – 243, Science Direct, Pg. 232.
[2] Murtiningrum et al, 2012, The Exploration And Diversity Of Red Fruit (Pandanus Conoideus L.) From Papua Based On Its Physical Characteristics And Chemical Composition Bio
Diversitas ISSN: 1412-033X Volume 13, Number 3, July 2012, Pg. 126
[3] Zarungalo Z.L et al 2016, Nutrient content of three clones of red fruit (Pandanus conoideus) during the maturity development.  International Food Research Journal 23(3): 1217-1225 (2016) Pg. 1217.
[4] Zarungallo Z.L et al., 2015, Characterization of Chemical Properties, Lipid Profile, Total Phenol and Tocopherol Content of Oils Extracted from Nine Clones of Red Fruit (Pandanus conoideus Lamk), dalam Kasetsart Journal - Natural Science · August 2015 Pg. 238.
[5] Roreng M.K. et al., 2014 Carotenoids From Red Fruit (Pandanus Conoideus Lam.) Extract Are Bioavailable : A Study In Rats, IOSR Journal Of Pharmacy Volume 4, Issue 2 (February 2014), Pg. 11.
[6] Zarungallo Z.L. Analysis of α-cryptoxanthin, β-cryptoxanthin, α -carotene, and β-carotene of Pandanus conoideus oil by high-performance liquidchromatography (HPLC) Procedia Food Science 3 ( 2015 ) 231 – 243, Science Direct, Pg. 233
[7] Rohman, A., et al 2012, Characterizaton of red fruit (Pandanus conoideus Lam) oil, International Food Research Journal 19(2): 563-567 (2012) Pg. 264
[8] Arumsari N. 2013, Some Physico-chemical Properties of Red Fruit Oil (Pandanus Conoideus Lam) from Hexane and Chloroform Fraction, J.Food Pharm.Sci. 1 (2013) Pg. 31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar